Sabtu, 24 Agustus 2013

[ Tugas Kelompok ] Observasi OSKM - Infrastruktur dan Lalu Lintas Cihampelas, Dulu dan Sekarang

wip Done!

Sebagai sebuah acara kemahasiswaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, OSKM ITB 2013 tak hanya membekali para mahasiswa baru dengan materi-materi secara teori, namun juga secara praktek langsung di lapangan. Program observasi lingkungan yang berbasis pada nilai-nilai PESTEL (politics, economy, science, technology, environment, legal) ini merupakan salah satu bukti nyata bagaimana OSKM menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk terus mengembangkan pola pikir kritis, kreatif, dan konstruktif.

Kelompok 112 bisa dibilang cukup beruntung ditugaskan untuk mengobservasi wilayah Cihampelas - sebuah wilayah wisata yang tak jauh dari kampus Ganesha. Jalan satu arah yang dipenuhi oleh hotel-hotel bertingkat dan factory outlet ini membentang dari atas hingga ke bawah, dengan megamall Cihampelas Walk sebagai magnet utama Cihampelas. Sempat terjadi sedikit miskomunikasi saat proses mobilisasi menggunakan angkot menuju Cihampelas - masalah yang dapat dengan cepat teratasi berkat koordinasi yang baik antar ketiga taplok.



Plang Penanda Jalan Cihampelas

Waktu yang semakin menipis membuat kami harus berpikir cepat dan cermat dalam menentukan tema. Pelataran sebuah showroom mobil pun menjadi tempat kami berteduh sejenak, mengingat matahari yang bersinar terik seiring waktu. Dalam kebuntuan, muncullah Nitis - perwakilan FTSL dalam kelompok kami - dengan sebuah gagasan brilian yang akan saya coba uraikan kata per kata berdasarkan memori:

'Trotoar kini semakin tergerus oleh pedagang-pedagang - bagaimana kalau kita tinjau saja pendapat para narasumber mengenai keadaan Cihampelas sekarang, terutama infrastrukturnya? '

Tak terdengar sedikit pun raungan keberatan dari anggota yang lain mengenai tema bersangkutan. Agar beban di pundak tiap-tiap individu tak terasa berat, kami pun membagi job desk menjadi tiga kelompok:

Kelompok I - Faiz dan kawan-kawan - bertugas mewawancarai pengguna jalan;

Kelompok II - Zaenab dan kawan-kawan - bertugas mewawancarai tukang parkir yang bertugas;

Kelompok III - Julio dan kawan-kawan - bertugas mewawancarai pengguna jalan;

Kelompok I mewawancarai dua narasumber yang kebetulan sedang berjalan di sekitar, yakni Johan (13 Tahun) dan Iqbal (27 Tahun). Transkrip teks yang mereka bawa kurang bisa terbaca, namun saya (penulis) setidaknya dapat menerjemahkan beberapa informasi: kedua orang tersebut adalah pengguna Jalan Cihampelas secara reguler setiap harinya. Johan merasa terganggu dengan banyaknya gangguan ketika menggunakan trotoar, dan dikuatkan dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa ia merasa kurang aman dan nyaman menggunakan trotoar akibat banyaknya pedagang yang memanfaatkan area trotoar untuk berbisnis.

Johan juga mengaku terganggu dengan banyaknya sampah dan senjangnya jarak antar tempat sampah dan tidak ratanya jalan. Sebenarnya Iqbal ingin menyampaikan 'curahan hati-'nya kepada pemerintah mengenai hal ini, namun urung karena proses yang menurutnya berbelit-belit hanya untuk menyampaikan sebuah kritik. Ia sangat berharap adanya pembatasan kendaraan yang lewat untuk mengurangi kemacetan, serta agar trotoar Jalan Cihampelas terbebas dari pedagang.

Beralih ke Kelompok II - mereka mewawancarai Asep, seorang tukang parkir yang sudah mencari nafkah selama 21 tahun di Jalan Cihampelas. Menurut beliau, pada tahun 1992 lalu lintas masih sangat kondusif - jauh berbeda 180 derajat apabila dibandingkan dengan kondisinya sekarang. Banyaknya motor yang melaju di Jalan Cihampelas memicu kemacetan, yang diperparah dengan sempitnya trotoar akibat digerus oleh pedagang kaki lima.

Tambahnya, dahulu pernah dilaksanakan operasi penertiban pedagang. Menurut kesaksiannya para pedagang dahulu tertib saat penertiban, namun lambat laun mulai kembali berjualan akibat tak adanya kontrol lebih lanjut. Beliau menyesalkan tak kunjung diperbesarnya Jalan Cihampelas, dan sangat berharap agar pemerintah turun tangan langsung memperbaiki masalah ini. Yang menarik, menurut pengakuan beliau ia tetap loyal bertugas di daerah Cihampelas berkat rasa sayangnya terhadap sebuah pohon tua. 'Hanya di Indonesia', ungkap Rico selaku salah satu anggota Kelompok II menanggapi kesaksian ini.

Terakhir, Kelompok III mewawancarai salah satu pedagang kaki lima yang menurut kesaksian tiga orang di atas telah mengganggu infrastruktur dan lalu lintas Cihampelas. Sempat kesulitan menemui pedagang yang kebanyakan sedang break makan siang, akhirnya mereka berhasil membujuk Erni - seorang pedagang kaos yang telah berbisnis selama 7 tahun. Beliau sendiri adalah salah satu kaum pendatang (asal Garut) yang mencoba untuk mengadu nasib di Kota Bandung.



Interaksi antar Nitis (Kelompok III) dan narasumber

Dengan logat Sundanya yang kental, beliau menceritakan perjalanannya mengikuti suami dan orang-orang luar Bandung lainnya yang mencoba untuk mencari nafkah di kota kembang ini. Menurutnya pasar di daerah Cihampelas sangat potensial, terutama pada masa-masa libur sekolah. Banyak pembeli yang berasal dari luar kota, tambahnya. Beliau lebih memilih untuk membuka kios di trotoar dibanding dengan membuka toko resmi karena menurutnya harga adminstrasi toko lebih mahal secara keseluruhan, belum lagi pajaknya.

Jam operasi beliau sendiri tidak tetap - kios dibuka pukul 09:00 dan tutup seperlunya. Beliau menambahkan semen pada trotoar secara swadaya untuk fondasi kios, dan tak merasa terganggu dengan kemacetan sekitar. Meskipun demikian, beliau mengaku agak risih dengan sempitnya trotoar. 'Banyak orang lewat, tapi mau gimana', ujar beliau. Bau sampah juga merupakan aspek lain yang membuat beliau kurang nyaman berjualan. Soal relokasi para pedagang (mirip dengan kasus Blok G Tanah Abang di Jakarta), apabila memang ada rencana demikian, beliau berkata ingin melihat prospeknya terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan bersama suami.

Bila diperhatikan, cukup beragam memang pengakuan dan keluhan para narasumber, namun bila ditarik garis lurus semua bermuara pada suatu hal : kurang nyamannya infrastruktur dan lalu lintas Cihampelas masa kini. Relokasi pedagang dapat menjadi solusi, namun tak akan mumpuni tanpa keseriusan eksekusi. Tentunya kami berharap masalah-masalah klise dapat teratasi, tanpa ada pihak yang merasa dikorbankan negeri.

- Kontributor : Seluruh Anggota Kelompok 112 | Penulis Artikel : Zakaria S. Laksmana -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar